Cerita Mabuk
Diambil dari http://www.teronggosong.com/
Sore itu dari pengeras suara masjid di
kampung seberang saya mendengar seorang penceramah mengingatkan kembali
akan bahaya minuman keras. Dalam acara pengajian sore menjelang berbuka
puasa. Lalu ia bercerita tentang kisah kiyai Barseso yang demikian
melegenda. Entah sudah berapa kali saya mendengar kisah itu, tapi masih
enak saja rasanya telinga ini mendengarnya.
Adalah pemuda misterius yang nyantri
padanya. Sebut saja namanya Nazar. Santri baru itu selalu rajin lagi
taat beribadah. Tak ada satu pun salat berjamaah yang terlewati olehnya.
Setiap kali salat ditunaikan, Nazar selalu berada di
belakang pundak kanannya. Sebelum masuk waktu, ia sudah duduk di surau
untuk mengumandangkan adzan. Tidak hanya begitu, siang dan malamnya ia
selalunjungkung beribadah tanpa henti. Dahinya sampai tumbuh kapal berwarna
hitam, saking sering dan lamanya dibuat sujud. Setiap kali kiyai
Barseso menjenguk suraunya, selalu saja Nazar terlihat khusyu’
menghadap kiblat. Kiyai barseso penasaran. Ganti dia mengendap-endap
mengintip surau. Barangkali Nazar hanya kelihatan rajin bila mengetahui
sang Kiyai memperhatikannya. Ternyata tidak, Nazar memang benar-benar
rajin. Waktunya total digunakan untuk beribadah. Subhanallah, saya kalah
rajin dibanding dengannya,” gumamnya dalam hati. Ini sungguh ironis,
masak kiyai kalah sama santrinya, harusnya aku yang lebih rajin
dibanding dia.”
Dan semenjak itu ia semakin terpacu untuk
lebih rajin beribadah. Hal-hal yang tidak penting ia hindari dan
diganti dengan salat sunnah, dzikir, membaca al-Qur’an dan lain-lain.
Numun tak berjalan lama. Sifat malasnya mulai melawan. Selalu saja ada
alasan untuk tidak istqamah dalam usaha ngoyonya. Namun ia tetap bersikeras bagaimana agar ibadahnya semakin rajin. Ia coba lagi untuk memulai njungkung, namun kendor lagi. Dan dicobanya lagi, namun beberapa hari gagal lagi, dan lagi. Demikian sampai berulang-ulang.
Pada bulan yang kesekian kiyai Barseso merasa takluk dan memanggil Nazar untuk ganti ngangsu kaweruh,
apa rahasianya agar bisa tekun seperti engkau wahai Nazar? Terus terang
aku merasa kalah rajin dengan engkau. Baru kali ini aku mempunyai
santri yang ibadahnya mengungguliku. Dan santri itu adalah engkau.”
“Ma’af kiyai, aku rasa kiyai sangat rajin. Saya belum seberapanya,” jawab Sofyan merendah.
“Tidak wahai anakku, katakan padaku
rahasia apa yang engkau pegang hingga engkau demikian rajin? Katakanlah
agar aku bias menirunya.”
“Walaupun saya rajin, namun tidak
apa-apanya dibanding Kiyai. Kiyai istiqamah sejak muda, sedangkan saya
baru beberapa bulan saja. Sebelum nyantri kesini saya adalah pecandu
minuman keras. Kemudian saya bertobat menyesali kebiasaan buruk saya.
Itulah yang memicu saya untuk selalu rajin Kiyai.”
“ Aku sering menjumpai orang bertobat,
tapi tidak serajin engkau. Malah kebanyakan mereka bertobat sekian hari
kemudian kambuh lagi dengan perbuatan maksiatnya. Tidak sepertimu.”
“Maaf Kiyai, kalau boleh saya menduga;
mereka itu bukanlah pemabuk seperti saya. Maksiat yang saya lakoni
adalah minuman keras. Mungkin inilah efek positif dari minuman keras. Di
satu sisi ia berbahaya karena memabukkan, namun di sisi lain memicu
semangat saya untuk rajin beribadah. Sampai-sampai mengalahkan ketekunan
Kiyai.”
Kiyai Barseso terpana mencermati
penjelasan Sofyan. Bibirnya sedikit terbuka. Jika saja ada lalat yang
berminat menyerbu mulutnya, niscaya lalat itu tanpa kesulitan menerjang
dinding kerongkongannya.
“Jadi……,” kiyai Barsoso tidak melanjutkan kalimatnya.
“Barangkali Kiyai perlu mencoba
pengalaman saya. Siapa tahu setelah mabuk, Kiyai tambah semangat
beribadah melebihi saya. Tapi maaf Kiyai, ini hanya spekulasi saya.”
Berhari-hari Kiyai Barseso tercenung
memikirkan tawaran Nazar. Masa iya, dosa besar itu telah membuatnya
super rajin. Atau ada faktor lain sebagai penyebabnya. Apa pantas dia
yang sudah menjadi panutan duduk minum arak bersama para pecandu. Apakah
dosa ini tidak dilaknat oleh Allah. Apa tidak canggung ia yang
kesehariannya mengajar di surau ketika duduk di warung najis itu. Dan
segala kecamuk pikiran yang menjejali akal sehatnya. Termasuk jatuhnya
pilihan: Apa salahnya bila saya coba sekali saja, kemudian cepat-cepat
bertobat. Allah Maha Pengampun.
Malam itu setelah jama’ah Isya’ kiyai
Barseso digandeng Nazar melangkah berjalan menyusuri lorong gelap dan
melintasi persawahan. Kemudian mereka menerabas rimbunnya barongan, melintasi jalan setapak. Sampailah mereka berdua di kedai langganan Nazar.
Pemilik kedai dan pengunjungnya saling
berpandang-pandangan melihat tamu ‘istimewa’ yang datang malam itu.
Terkejut campur tak percaya, hingga tak sepatah kata pun keluar dari
mulut mereka.
“Sediakan kami sebotol minuman yang paling istimewa,” buru-buru Nazar memecah keheningan.
Tergopoh-gopoh pemilik kedai melayani
kiyai kampung seberang yang sangat terhormat. Batinnya bercampur takut.
Dengan agak tegang ia menyodorkan sebotol arak dan dua buah sloki. Lalu
kembali ke balik meja menuju tempat duduknya.
Buru-buru Nazar menuangnya ke dalam segelas untuk Barseso.
“Ayo silahkan diminum Kiyai,”
“Lha kamu?”
“Saya gampang, biar nanti saja.”
Setengah gelas sudah mengalir di kerongkongan kiyai Barseso. Ia meletakkan gelas di baki. Pahit. Kepalanya sudah agak nggliyer.
“Lagi Kiyai, sedikit begitu belum memabukkan.”
Kiyai Barseso mengangkat gelasnya lagi,
habis. Kepalanya sudah bertambah berat, matanya berkunang-kunang. Sofyan
tambah gampang menguasainya.
“Bagus, tambah lagi kiyai, agar tambah mabuk. Semakin mabuk, semakin manjur.”
Diteguknya gelas kedua yang telah dituang
oleh Nazar. Habis. Barseso semakin mudah dikendalikan. Gelas ketiga
juga dihabiskan. Demikian sampai sebotol habis tak tersisa.
Kepalanya terasa berputar-putar seperti baling-baling helikopter yang maunyungsep. Nazar terbahak-bahak disusul tawa Barseso yang membahana. Barseso berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Ia berjalan gontai.
“Aku sudah berada di surga! Aku melihat
bidadari cantik, ha…haa….ha……..”. “Ayolah, ayo temani aku. Ia berjalan
menghampiri pemilik kedai itu. Barseso semakin liar, tak ada yang berani
menghalanginya. Didekaplah pemilik kedai itu. Sambil berjalan
sempoyongan ia membimbingnya ke kamar. Dalam keadaan mabuk ia
mensetubuhi janda pemilik kedai itu. Si janda meronta, namun tak
dihiraukan olehnya. Setelah berjuang agak lama, perut Barseso berhasil
ditendang. Barseso naik pitam, dicekiknya janda itu sampai kehabisan
nafas. Akhirnya janda pemilik kedai itu tewas.
Kiyai Barseso menjadi tersangka. Ia
diseret ke mahkamah. Ia dinyatakan bersalah karena telah menzinahi
sekaligus membunuh janda penjual arak. Ia dijatuhi hukuman mati.
Menghilangkan nyawa hukumannya nyawa juga.
Kiyai Barseso digiring ke lapangan untuk
di eksekusi. Para petugas dan algojo sudah siap menunaikan tugasnya. Ia
pasrah. Samar-sama dilihatnya Nazar berjalan mengiringinya. Nazar
seperti berjalan di awing-awang.
“Wahai Nazar, tolonglah aku. Kamulah yang
menjadi biang musibah ini. Kamu harus menyelamatkanku dari hukuman ini.
Nazar hanya diam tak bereaksi.
“Ayolah muridku, selamatkan aku!” pinta kiyai Barseso memelas.
“Aku belum bertobat, selamatkan aku biar
aku dapat rajin beribadah menebus kesalahan ini dengan semakin rajin
beribadah sepertimu.”
“Wahai kiyai Barseso, sesungguhnya aku bukanlah santrimu. Aku adalah setan yang menyaru sebagai santri.”
Kiyai Barseso menghela nafas, tempat eksekusi sudah semakin dekat.
“Siapa pun engkau, tolonglah aku! Aku belum siap untuk mati,” katanya meratap.
“Baik, aku bisa menolongmu, tapi dengan satu syarat.”
“Katakanlah, apa syarat yang harus kupenuhi?”
“Sembahlah aku, maka kamu akan kubebaskan.”
Di tengah keputus asaan kiyai Barseso
bersujud menyembah Nazar. Nazar kembali tertawa berderai-derai. Lapangan
eksekusi sudah semakin dekat, Nazar terus meledek kiyai Barseso hingga
akhirnya pedang algojo menghabisi nyawanya.
+ + + +
Dua hari yang lalu seorang makelar sepeda
motor menawari saya sebuah motor Supra X 125 keluaran tahun 2010 kepada
saya. Hanya satu juta rupiah!
“Ah, sampeyan ini ada-ada saja,” saya tak percaya.
“Sungguh Gus, beneran. Mungkin kalau
njenengan berani, orang lain tak ada yang mau. Sepeda itu ada
ceritanya,” tuturnya sebelum berkisah.
Adalah seorang pemuda di kecamatan Kudu kabupaten Jombang yang dirundung nahas itu.
Dengan setengah mabuk pemuda itu pulang
ke rumahnya. Sesampai di rumah ia didamprat oleh ibunya karena sesuatu
hal. Langsung ia cabut dengan sepeda motornya. Ia tancap gas menembus
malam pekat. Ia geber sekencang-kencangnya. Dari arah berlawanan
iring-iringan pentakziah mengusung keranda menuju liang lahat. Masih
setengah mabuk ia melabrak pemikul keranda itu, kontan pemikul itu roboh
dan mayat yang berada dalam keranda berguling-guling ke aspal. Dia
sendiri bersama motornya malah selamat karena nyungsep di tumpukan
jerami. Selanjutnya ia menjadi sasaran amuk massa. Beruntung, setelah
mendapat bogem mentah beberapa kali ia berhasil melarikan diri menyusup
gelapnya malam.
Sampai berhari-hari ia linglung takut
ganti dikerjai hantu pocong. Motornya mau dijual, sayang tak ada yang
mau membeli. Berkali-kali dibawa ke toko motor bekas, juga tak laku.
Saking takutnya motor itu tidak pernah dikandangkan, hanya diparkir di
pelataran rumah. Maling pun tak berani mengembatnya.
Sumber : http://selembarkertasku.wordpress.com