Wafatnya Para Kyai Musibah Dalam Islam
Mohammad Ma’ruf
Ketua LBM NU Sby
Selama dua bulan terakhir ini telah banyak kyai-kyai yang alim,
pengayom masyarakat, berjuang demi agama Allah yang telah berpulang ke
rahmatullah. misalnya di Kediri KH Imam Yahya Mahrus (Lirboyo), Gus
Munif Jazuli (Ploso), di Malang KH Ahmad Zarkasyi (Gus Mad), di Surabaya
KH Saiful Islam Muqaddas (Masjid Kemayoran), dan yang terakhir adalah
di Tuban KH Abdullah Faqih (Langitan).
wafatnya para kyai adalah sebuah duka yang mendalam, sebab kyai
adalah ulama yang meneruskan perjuangan Rasulullah Saw. Semakin banyak
ulama yang wafat artinya akan semakin sedikit para penerus perjuangan
Rasulullah Saw.
Ulama dapat diinterpretasikan berdasarkan tradisi dan geografis
(daerah). Di Jawa misalnya, ulama identik dengan nama Kyai, di Nusa
Tenggara disebut Tuan Guru, di suku Melayu disebut Datuk, di Sumatra
Barat disebut dengan Buya, dan lain sebagainya, sama halnya dengan
predikat Ulama di Timur Tengah dengan sebutan Syaikh. Namun, meski Ulama
memiliki ‘nama lokal’ bukan berarti semua pihak layak disebut ulama,
sebab nama-nama yang diidentikkan dengan Ulama dalam Islam tetap
memiliki standar kualifikasi sehingga seseorang layak disebut ulama
dalam konteks lokalnya, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab
berikutnya.
Ulama Pewaris Nabi
Telah disebutkan dalam hadis yang sudah masyhur bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi, sebagaimana sabda Nabi:
إن العلماء ورثة الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورثوا العلم،فمن أخذه أخذ بحظ وافر» رواه الترمذي
“Al Ulama waratsatu al-anbiya’. Lam
yuwarritsu dinaran wa la dirhaman. Innama warratsu al-ilma. Fa man
akhadzahu akhadza bi hadzdzin wafirin”. Artinya: “Ulama adalah
pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka
hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil ilmu, ia telah
mendapatkan bagian yang sempurna” (HR al-Turmudzi dengan banyak riwayat,
Abu Dawud, Ibnu Majah dan lainnya dari Abu Darda’. Al-Hafidz al-Iraqi
menilai sahih)
Karena ulama adalah pewaris Nabi, maka ulama inilah yang meneruskan
perjuangan para Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam kepada
masyarakatnya. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
قال صلى الله عليه وسلم : ” أقرب الناس من درجة النبوة أهل العلم و
الجهاد أماأهل العلم فدلوا الناس على ماجاءت به الرسل ، و أماأهل الجهاد
فجاهدوا بأسيافهم علم ماجاءت به الرسل ” .(أبو نعيم فى فضل العلم العفيف)
“Aqrabu an-nasi min darajati an-nubuwwah ahlu al-ilmi wa
al-jihadi. Amma ahlu al-ilmi fa dallu ‘ala ma ja’at bihi ar-rusulu. Wa
amma ahlu al-jihadi fa jahadu bi asyafihim ‘ala ma ja’at bihi ar-rusulu”.
Artinya: “Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah
orang yang berilmu dan berjihad. Orang yang berilmu memberi petunjuk
kepada manusia sesuai dengan ajaran yang dibawa para Rasul. Sedangkan
orang yang berjihad, mereka berjihad dengan pedangnya sesuai ajaran yang
dibawa para Rasul” (HR Abu Nuaim dengan sanad yang dlaif)
Kriteria Ulama
Ulama Kharismatik dari Jember, KH Ahmad Siddiq, menguraikan kriteria ulama dalam bukunya
Khittah Nahdliyah
secara mendetail. Menurut beliau ada dua kriteria esensial bagi seorang
ulama. Pertama adalah takwa, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (Fathir: 28)
Kedua, adalah pewaris Nabi, dengan mewarisi ajarannya (ilmu), tingkah lakunya (amal), dan akhlak serta perjuangan Nabi.
Beliau kemudian mengutip klasifikasi ulama oleh Syaikh Ahmad bin Ajibah, bahwa Ulama ada tiga macam. Pertama,
‘Alim, yaitu mewarisi ucapan-ucapan Rasulullah baik secara ajaran atau pengajaran, dengan syarat harus ikhlas. Kedua,
‘Abid, yaitu mewarisi perbuatan Nabi, seperti salatnya, puasanya, perjuangannya dan sebagainya. Ketiga,
‘Arif
(sufi atau tasawwuf), mewarisi ilmu dan amal Rasulullah ditambah dengan
akhlak yang sesuai dengan batin (mental), seperti zuhud (tidak
materialistis), wara’ (menjauhi hal-hal syubhat dan haram), takut kepada
Allah, sabar dan sifat-sifat sufi lainnya.
Lebih kongkrit KH Ahmad Siddiq mencontohkan ulama-ulama diatas
sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazzali: “Kesemua ulama ini (Imam
Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan Imam Abu Sufyan
al-Tsauri) adalah ulama yang ahli ibadah, zuhud (tidak materialistis),
mengetahui ilmu-ilmu akhirat, mengerti kemaslahatan umat di dunia, dan
hanya mengharap ridha dari Allah” (Ihya Ulumiddin I/25)
Wafatnya Ulama Sebagai Musibah
al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah
penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah yang berbunyi:
“Dan
apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi
daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi
sedikit) dari tepi-tepinya? (Al-Ra’d: 41). Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (
kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
Rasulullah Saw yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga
menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah. Rasulullah bersabda:
وعن أبي الدرداء قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : موت
العالم مصيبة لا تجبر وثلمة لا تسد، وهو نجم طمس . وموت قبيلة أيسر لي من
موت عالم . رواه الطبراني في الكبير . وأخرجه البيهقي في “الشعب”
“Maut al-Alim mushibatun la tujbaru wa tsulmatun la tusaddu, wa
huwa najmun thamsun. Wa mautu qabilatin aisaru li min mauti alim”.
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan
sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang
yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada
meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan
al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu
Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat
yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu
kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya.
Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal
inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ:”خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَنْفَدَ”، ثَلاثًا،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَنْفَدُ، وَفِينَا كِتَابُ
اللَّهِ؟ فَغَضِبَ لا يُغْضِبُهُ اللَّهُ، ثُمَّ قَالَ:”ثَكِلَتْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ، أَلَمْ تَكُنِ التَّوْرَاةُ وَالإِنْجِيلُ فِي بني
إِسْرَائِيلَ، ثُمَّ لَمْ يُغْنِ عَنْهُمْ شَيْئًا، إِنَّ ذَهَابَ
الْعِلْمِ ذَهَابُ حَمَلَتِهِ”ثَلاثًا. (رواه الطبراني)
“Khudzu al-ilma qabla an yadzhaba! Qalu: Ya Rasulallah, wa kaifa yadzhabu? Qala: Inna dzahaba al-ilmi dzahabu hamalatihi”.
Artinya: “Pelajarilah ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai
Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi? Rasulullah menjawab:
Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa
ilmu (ulama)” (HR al-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah)
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya
munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat
menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadis sahih:
عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ
عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
“Inna Allaha La yaqbidlu al-ilma intiza’an yantazi’uhu mina
al-ibadi wa lakin yaqbidlu al-ilma bi qabdli al-ulama. Hatta idza lam
yubqi aliman ittakhadza an-nasu ru’usan juhhalan fa su’ilu fa aftau bi
ghairi ilmin, fa dlallu wa adlallu”. Artinya: “Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut
para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka
manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian
memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan” (HR
al-Bukhari No 100)
Penutup
Kendatipun telah banyak kyai yang telah wafat, dan wafatnya kyai
adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya
kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Harapan ini sebagaimana
yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib:
إحياء علوم الدين ومعه تخريج الحافظ العراقي – (1 / 15)
(قال علي) وإذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها إلا خلف منه
“Idza mata al-’Alimu tsaluma fi al-Islam tsulmatun la yasudduha illa khalafun minhu”.
Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam
yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Ihya
Ulumiddin I/15). Amin ….
Sumber : http://www.nusurabaya.or.id